Apa Saja yang Dibahas Saat Perusahaan dan Komunitas Bekerja Sama
.webp)
- Diskusi awal antara perusahaan dan komunitas menentukan arah, keberlanjutan, serta penerimaan sosial program kolaborasi.
- Perencanaan matang mencakup analisis kebutuhan, pembagian peran, dan strategi pendanaan berkelanjutan agar program tidak berhenti di tengah jalan.
- Evaluasi terbuka dan transparansi laporan sosial menjadi kunci menjaga kredibilitas dan kepercayaan publik terhadap kolaborasi yang dijalankan.
Mengapa Diskusi Awal Menentukan Arah Kolaborasi
Kerja sama antara perusahaan dan komunitas bukan sekadar
berbagi sumber daya.
Menurut Prof. Dr. Yuli Astuti, M.Si, pakar komunikasi pembangunan dari Universitas
Indonesia, “tahap diskusi awal antara kedua pihak menentukan arah,
keberlanjutan, dan penerimaan sosial dari seluruh program yang dijalankan.”
Dalam praktiknya, proses kolaborasi idealnya dimulai dengan identifikasi
kebutuhan komunitas, diikuti oleh penyusunan agenda bersama yang melibatkan
perusahaan, pemerintah daerah, serta tokoh masyarakat.
Berikut adalah topik utama yang biasanya dibahas sebelum, selama, dan setelah
kolaborasi berlangsung.
Analisis Kebutuhan dan Potensi Lokal
Tahapan ini adalah fondasi utama. Perusahaan dan komunitas
harus membahas apa kebutuhan utama masyarakat setempat apakah peningkatan
ekonomi, pendidikan, kesehatan, atau lingkungan.
Contohnya, dalam program Pemberdayaan Perempuan Desa
Sumberjo (Klaten), Danone AQUA melakukan survei sosial bersama Komunitas
UMKM Klaten Mandiri dan Dinas Koperasi Daerah untuk memetakan potensi usaha
rumahan berbasis hasil pertanian lokal.
Hasil survei menemukan bahwa 64% perempuan desa ingin belajar pemasaran digital
agar produk mereka dikenal lebih luas (sumber: Laporan CSR Danone-AQUA 2024).
“Kuncinya ada di pemetaan data sosial yang valid. Kalau kita
hanya menebak, program akan berhenti di tengah jalan,” ujar Nadia Putri,
Koordinator CSR Danone-AQUA Regional Jawa Tengah.
Penentuan Tujuan dan Indikator Keberhasilan
Setelah kebutuhan dipahami, hal berikutnya yang dibahas
adalah tujuan kolaborasi dan indikator keberhasilan.
Tujuan bisa bersifat jangka pendek (misalnya peningkatan keterampilan) atau
jangka panjang (seperti penguatan ekonomi berkelanjutan).
Indikator yang biasa digunakan mencakup:
- Jumlah
penerima manfaat.
- Kenaikan
pendapatan rata-rata.
- Jumlah
kegiatan pelatihan yang berhasil diselesaikan.
- Perubahan
perilaku sosial atau lingkungan yang terukur.
Sebagai contoh, PT Semen Indonesia bersama Komunitas Hijau
Klaten menetapkan target rehabilitasi 25 hektar lahan kritis dalam dua tahun.
Target tersebut tercapai pada tahun 2024, disertai penurunan tingkat
kelongsoran tanah sebesar 18%, menurut data Dinas Lingkungan Hidup Klaten
(2025).
Pembagian Peran dan Tanggung Jawab
Isu lain yang selalu dibahas adalah pembagian tanggung jawab
antar pihak. Perusahaan biasanya bertindak sebagai penyedia dana, sumber
pengetahuan teknis, dan akses jaringan; sedangkan komunitas berperan sebagai
pelaksana lapangan dan penjaga keberlanjutan sosial.
Menurut Dr. Yuli Astuti dari UI, pembagian peran ini harus
tertulis jelas agar tidak menimbulkan konflik kepentingan.
Ia menekankan pentingnya MoU (Memorandum of Understanding) yang disusun
bersama, bukan sepihak.
“MoU bukan sekadar formalitas. Itu adalah peta jalan moral
dan etis dari kolaborasi yang dijalankan,” tegasnya.
Dalam praktik di lapangan, Kementerian BUMN bahkan
merekomendasikan setiap proyek kemitraan memiliki rencana kerja tahunan bersama
(Joint Work Plan) yang disetujui kedua belah pihak (Laporan BUMN untuk
Negeri, 2023).

Rencana Pendanaan dan Keberlanjutan Program
Salah satu pembahasan paling krusial dalam kerja sama adalah
mekanisme pendanaan dan keberlanjutan. Tidak sedikit program CSR berhenti karena dana habis setelah satu tahun. Oleh
karena itu, kini banyak perusahaan mengadopsi model co-funding di mana dana
tidak hanya berasal dari perusahaan, tetapi juga dari hasil usaha komunitas
atau mitra lokal.
Contohnya, dalam proyek Rumah Energi Mandiri di Kulon
Progo oleh Pertamina Foundation dan Komunitas Pemuda Peduli Energi, 30% dana
program berasal dari hasil penjualan biogas dan pupuk organik yang dikelola
warga.
Model ini terbukti efektif menjaga keberlanjutan tanpa ketergantungan penuh
pada perusahaan.
“Pendekatan co-funding membuat masyarakat merasa ikut
memiliki program, bukan hanya penerima manfaat,” jelas Rachmat Wibowo, Project
Manager Pertamina Foundation (2024).
Evaluasi, Pelaporan, dan Dampak Sosial
Tahap terakhir yang sering kali diabaikan adalah evaluasi
dan pelaporan dampak sosial.
Diskusi ini membahas bagaimana hasil kegiatan diukur, siapa yang menilai, dan
bagaimana laporan dipublikasikan secara transparan.
Laporan evaluasi idealnya mencakup:
- Capaian
kuantitatif (jumlah peserta, kenaikan pendapatan, luas area penghijauan,
dll).
- Dampak
kualitatif (perubahan perilaku, peningkatan kesadaran lingkungan, dll).
- Pembelajaran
dan rekomendasi untuk program berikutnya.
Menurut Prof. Tri Edhi Budhi Soesilo, M.Sc dari Universitas
Indonesia, evaluasi yang terbuka membantu perusahaan menjaga reputasi dan
kredibilitas sosialnya.
“Transparansi bukan ancaman, melainkan investasi jangka panjang,” ujarnya dalam
seminar Forum CSR Nasional 2024 di Jakarta.
FAQ
1. Mengapa pembahasan awal penting dalam kolaborasi?
Karena menentukan arah, kebutuhan, dan indikator keberhasilan agar program
tepat sasaran.
2. Siapa saja yang perlu hadir dalam diskusi kerja sama?
Perwakilan perusahaan, komunitas, tokoh masyarakat, dan jika perlu, akademisi
atau pemerintah daerah.
3. Bagaimana menghindari konflik selama kolaborasi?
Dengan menetapkan pembagian peran tertulis dan komunikasi yang rutin.
4. Apakah laporan hasil kegiatan harus dipublikasikan?
Idealnya ya, untuk menjaga transparansi dan akuntabilitas publik.
5. Bagaimana memastikan program berlanjut setelah
pendanaan selesai?
Dengan model co-funding, pelatihan kemandirian, dan integrasi ke dalam rencana
bisnis komunitas.
Published by Sefanya Pratiwi (sea)

Tidak ada komentar:
Posting Komentar